Pagar Laut Runtuh! Menteri ATR/BPN Nusron Wahid Cabut SHGB Agung Sedayu Group, Buka Jalan Penegakan Hukum!
BANTEN- Keberanian Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid mencabut Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) milik anak usaha Agung Sedayu Group di Desa Kohod, Tangerang, Banten, menuai perhatian besar. Keputusan ini menandai langkah tegas pemerintah dalam menata ulang tata kelola lahan, terutama yang bersinggungan dengan wilayah perairan.
Seperti dilaporkan 'Media Bisnis' pada 24 Januari 2025, pencabutan SHGB ini memunculkan harapan baru bahwa sertifikat serupa yang dikeluarkan secara tidak sah di berbagai daerah bisa segera ditinjau ulang dan dibatalkan. Namun, langkah ini juga memicu perdebatan soal dampaknya terhadap dunia investasi di Indonesia.
Kuasa hukum Agung Sedayu Group, Muannas Alaidid, menilai keputusan ini berpotensi menimbulkan polemik, mengingat adanya tumpang tindih regulasi dalam penerbitan SHGB. Ia mengingatkan bahwa ketidakpastian hukum dapat menghambat pertumbuhan ekonomi.
Namun, Nusron Wahid menegaskan bahwa pencabutan SHGB dilakukan berdasarkan aturan yang jelas. Pemerintah telah melakukan investigasi, survei lapangan, dan konsultasi hukum sebelum mengambil langkah ini. Salah satu dasar hukum yang digunakan adalah Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.
Tak hanya satu, Nusron Wahid juga menemukan 280 sertifikat di kawasan pagar laut Desa Kohod yang dianggap bermasalah. Dari jumlah tersebut, 263 adalah SHGB dan 17 adalah Sertifikat Hak Milik (SHM). Sebagian besar dimiliki oleh PT. Intan Agung Makmur dan PT. Inti Cahaya Sentosa, anak usaha Agung Sedayu Group. Selain itu, sembilan SHGB milik perseorangan juga ditemukan berada di wilayah laut.
Keputusan ini disambut antusias oleh masyarakat yang sebelumnya telah menggelar aksi protes besar-besaran pada 8 Januari 2025. Mereka merasa hak atas akses publik terhadap wilayah pesisir telah dirampas oleh kepentingan bisnis tertentu.
Presiden Direktur Agung Sedayu Group, Nono Sampono, mengklaim bahwa selama pembangunan PIK-2, perusahaannya telah menyumbang pajak hingga Rp50 triliun dan menyerap sekitar 200 ribu tenaga kerja. Ia mengingatkan bahwa Kabupaten Tangerang kini memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) tertinggi di Indonesia berkat proyek tersebut.
Meski demikian, Nono juga mengakui bahwa ada persoalan dalam perizinan lahan. Ia berharap pemerintah memberikan kejelasan hukum agar dunia usaha tetap memiliki kepastian.
Menurut Direktur Eksekutif Studi Demokrasi Rakyat, Hari Purwanto, proyek pagar laut ini tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab pemerintah sebelumnya. Ia menyebut bahwa proyek ini merupakan turunan dari Proyek Strategis Nasional (PSN) yang lahir di era Presiden Joko Widodo.
Lebih lanjut, ia menyoroti kemungkinan adanya keterlibatan beberapa tokoh politik dalam penerbitan SHGB ini, termasuk mantan pejabat ATR/BPN dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Hari Purwanto menegaskan bahwa pencabutan SHGB ini seharusnya diikuti dengan proses hukum terhadap pihak-pihak yang terlibat.
Pencabutan SHGB ini menjadi titik awal dari langkah yang lebih besar. Masyarakat kini menunggu apakah ada tindak lanjut hukum terhadap pihak yang mengeluarkan sertifikat di wilayah yang seharusnya tidak boleh dimiliki secara pribadi.
Pemerintah memastikan bahwa proses hukum akan terus berjalan demi menegakkan prinsip keadilan dan kepastian hukum di Indonesia. Apakah ini awal dari reformasi agraria yang lebih luas? Ataukah hanya kasus tunggal? Waktu yang akan menjawab.***
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow